Sejarah Desa Sirkandi

Legenda Desa Sirkandi berdasarkan ceritera turun temurun yang berkembang dimasyarakat, konon pada zaman dahulu di Karanggintung tinggal keluarga yang bertindak sebagai pimpinan wilayah dengan sebutan JEBENG, dijaman sekarang sebutan Jebeng setara dengan jabatan Kepala Desa.

Cikal bakal Desa Sirkandi berawal dari Karanggintung (sekarang diwilayah Dusun Balong Kulon) sebagai pusat pemerintahan, dimana  Karanggintung terdiri dari beberapa wilayah (sekarang dusun) yang meliputi Balong, Beji, Kreyek dan Salaraga.

Pimpinan wilayah atau Jebeng yang memerintah diwilayah Karanggintung bernama Jebeng Astranala, sedangkan masing-masing pimpinan dibawahya  disebut Punggawa yang antara lain punggawa diwilayah Balong bernama Sabrati, punggawa diwilayah Beji bernama Saduda, punggawa diwilayah Kreyek bernama Misa dan punggawa di Salaraga bernama Sela.

Jebeng yang menjadi pimpinan diwilayah Karanggintung bernama JEBENG ASTRANAALA        dan mempunyai dua orang saudara, masing-masing Jebeng TANUWANGSA memegang tampuk pemerintahan diwilayah timur yaitu Salamerta dan Jebeng PRANA memegang tampuk pemerintahan wilayah barat yaitu Berta.

Kondisi pada saat itu wilayah Karangggintung masih berupa hutan, jumlah penduduknya masih sangat sedikit demikian juga perumahan penduduk masih bergerombol.

Masing-masing punggawa bertanggung jawab atas wilayahnya untuk mengatur warga, membangun wilayah, diantaranya membuka hutan untuk tempat pemukiman baru, membuat jalan antar dukuh, semua kegiatan dilaksanakan dengan cara gotong royong sebagai ciri khas warga Karanggintung pada saat itu.

Pemukiman warga masih sangat sederhana, rumah terbuat dari kayu dan bambu beratapkan ilalang serta berlantai tanah, bagi yang mampu bangunan rumah berbentuk joglo, mata pencaharian warga hampir sebagian besbesar  bercocok tanam atau bertani serta dilengkapi dengan memelihara ternak baik ternak unggas maupun ternak besar seperti kambing, kerbau serta lembu dan bagi yang memungkinkan, juga memelihara ikan dikolam.

Jebeng Astranala selaku pimpinan di Karanggintung selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat dengan punggawa-punggawanya, dengan tokoh masyarakat maupun para sesepuh dalam memutuskan kebijakan  sehingga apa yang dihasilkan selalu mendapat dukungan dari warga sehingga Karanggintung mengalami kemajuan yang cukup pesat diberbagai bidang.

Dalam memimpin Karanggintung, Jebeng Astranala sangatlah arif dan bijaksana namun tegas, oleh karenanya Jebeng Astranala sangatlah disegani oleh para punggawa maupun warganya, maka tidaklah mustahil bahwa dukuh-dukuh diwilayah Karanggintung cepat maju dan menjadikan warga dari wilayah lain berdatangan ke Karanggintung, bahkan ada yang menetap di Karanggintung, kemudian menjadi warga baru, namun Jebeng Astranala memberikan pelayanan yang sama antara warga pendatang dan warga asli dari Karanggintung. Dibalik keberhasilan memimpin Karanggintung, Jebeng Astranala sebenarnya mengalami hal yang sangat membebani kehidupan pribadinya. 

Telah bertahun-tahun Ki Jebeng Astranala merajut kehidupan berumah tangga, namun hingga saat ini belum dikaruni buah hati hasil pernikahannya.

Berbagai usaha telah dilaksanakan namun semuanya belum ada buahnya, mungkin Tuhan Yang Maha Kuasa belum mengabulkan permohonannya.

Namun Ki Jebang tidak berputus asa tiada henti memohon dan memohon kepada yang Maha Kuasa.Terakhir kali dalam pisowanan atau slapanan rupanya ada peserta pisowanan yang tanpa sengaja membuat hati Ki Jebeng dan Ni Jebeng Astranala terusik. Ada seorang yang menyatakan alangkah lebih bahagia dan lebih lengkap andaikan beliau punya putra sebagai penerus keturunan. Dengan hati yang dibuat tetap tegar, dijawab oleh Ki Jebeng bahwa Tuhan belum memberikan anugerah tersebut. Selanjutnya Ki Jebeng Astranala mohon do’a kepada semula peserta slapanan agar usahanya yang tanpa henti selalu dilakukan akan segera membuahkan hasil.

Malam harinya sebelum tidur Ki Jebeng dan Ni Jebeng Astranala duduk-duduk diserambi rumah sambil membicarakan atas kejadian tadi siang sewaktu slapanan. Tanpa terasa hari sudah larut malam akhirnya Ki Jebeng dan Ni Jebeng Astranala pergi ketempat tidur untuk beristirahat. Didalam tidurnya Ki Jebeng bermimpi bahwa apa yang diharapkan akan terkabul namun Ki Jebeng harus melakukan semedi di pundhen desa yang letak pundhen tersebut disebeleh utara desa.

Mimpi semalam disampaikan ke pada Ni Jebeng, rupanya Ni Jebeng sangat antusias sekali mendengar ceritera dalam mimpi suaminya, bahkan Ni Jebeng memberikan usul agar dalam melaksanakan semedi untuk diawat-awati (diawasi dari kejauhan) oleh adiknya, Jebeng Tanuwangsa maupun Jebeng Prana. Usul Ni Jebeng ditanggapi dengan positif oleh Ki Jebeng yang selanjutnya utusan kepada abdi Karanggintung untuk nimbali Ki Jebeng Tanudwangsa di Salamerta dan Ki Jebeng Prana di Berta.

Singkat ceritera setelah semuanya kumpul di Karanggintung, apa yang ada dibenak Ki Jebeng Astranala diutarakan kepada kedua saudaranya, dan siap membantu dengan tulus ikhlas. Pada hari yang sudah ditentukan maka berangkatlah Ki Jebeng Astranala ketempat untuk semedi dengan diawat-awati oleh kedua saudaranya.

Didalam bersemedi Ki Jebeng Astranala mendapatkan berbagai godaan dan gangguan  namun semua  gangguan dan godaan  dari mahluk yang tidak kasat mata dapat diatasi oleh Ki Jebeng Astranala. Didalam akhir semedinya, Ki Jebeng Astranala mendapatkan wisik, bahwa apa yang menjadi permohonan Ki Jebeng akan terkabul mendapatkan apa yang dikehendaki  walaupun tidak dari gua garba ni Jebeng sendiri.

Sepulang semedi apa yang terjadi  diceritakan dengan tuntas kepada Ni Jebeng dan disaksikan pula oleh kedua saudaranya yang ngawat-awati waktu Ki Jebeng melaksanakan semedi. Mendengar cerita dari Ki Jebeng Astrana semua sangat berharap agar wisik tersebut jadi kenyataan sehingga akan memberikan warna lain dalam kehidupan di Karanggintung.

Didalam penantiannya yang sudah berselang beberapa hari, pada saat Ki Jebeng dan Ni Jebeng Astranala sedang duduk di balai-balai yang pada saat tersebut diluar sedaang turun hujan, tiba-tiba ada sesosok anak perempuan yang menghampiri rumah Ki Jebeng. Spontan Ki Jebeng dan Ni Jebeng segera menghapiri anak tersebut dan dibawa masuk ke pendopo.

Pada saat itu keduaanya belum sempat bertanya-tanya karena kondisi adak tersebut kelihatan masih sangat letih, pakaiannya lusuh, mukanya pucat disamping badanya basah oleh air hujan. Setelah dibawa masuk ke pendopo badan dikeringkan dengan kain, baju diganti dan diberi minuman hangat  serta makan, kelihatan anak tersebut sudah pulih. 

Menurut pandangan mata batin Ki Jebeng bahwa anak ini mempunyai aura atau pancaran yang luar biasa. Dalam batin Ki Jebeng  selalu memohon kepada Yang Maha Kuasa semoga apa yang iya peroleh didalam wisik sewaktu semedi akan menjadi kenyataan.

Setelah dipandang cukup  memungkinkan untuk mencari tahu asal usul anak tersebut, dengan penuh sikap kebapakan dan keibuan Ki Jebeng dan Ni Jebeng Astranala menanyakan segala hal yang berkaitan dengan keberadaan anak tersebut. Dengan sikap yang andhap asor anak tersebut menyebutkan bernama Sirkandi, asal usul tidak ingat, orang tuanya juga lupa  dan ia pergi tanpa tujuan, hanya mengikuti langkah kakinya. Dalam perjalanan tidak membawa bekal apapun kecuali sebilah patrem dan sebuah payung.

Maka resmilah Sirkandi diambil anak angkat oleh Ki Jebeng dan Ni Jebeng Astranala, sehingga kehidupan di Karanggintung lebih bergairah serta menambah semangat warga Karanggintung dalam melaksanakan tata kehidupan sehari hari dan Sirkandi tumbuh menjadi gadis cantik namun sederhana dan selalu mendapat pujian dari pemuda  pemudi yang bersua dengannya.

Dalam setiap pisowanan, Sirkandi selalu menjadi pusat perhatian bagi para tamu, karena sangat menarik hati bagi yang melihatnya. Didalam hati semua berujar berbahagialah Ki Jebeng dan Ni Jebeng mempunyai putri yang andhap asor, cantik, trampil , semua melekat pada diri Sirkandi. Berbahagialah kelak pria yang bisa mempersunting Sirkandi sebagai istrinya. Dapat dikatakan habis gelap terbitlah terang kehidupan di Karanggintung setelah tambah penghuni putri rupawan bernama Sirkandi.

Dikisahkan pada suatu hari diutara sungai Sapi ditempat yang agak tinggi sedang diselenggarakan latihan atau gladhen memanah oleh para satria dari Wirasaba diantaranya yang bernama Raden Wardoyo atau Raden Ukur. Setelah letih berlatih panahan Raden Wardoyo beristirahat didalam tendanya ditemani oleh 2 orang abdinya. Pada saat menjelang tengah malam Raden Wardoyo melihat ada cahaya kebiru-biruan letaknya disebelah tenggara dari perkemahan tempat berlatih. Maka Raden Wardoyo pamitan kepada kedua abdinya akan mengejar cahaya tersebut dan kedua abdinya disuruh pulang ke wirasaba untuk menyampaikan ke ayah bundanya bahwa Raden Wardoyo akan berkelana memenuhi panggilan jiwanya mengejar cahaya kebiru-biruan yang selalu menggoda hatinya.

Pada saat melihat benda bulat sebesar buah kelapa dan bersinar kebiru-biruan, Raden Wardoyo sangat terpana, sempat tidak dapat berbuat apa-apa, hanya kaku bagaikan patung penghias candi, sedangkan dibawah sana ada aliran Sungai Sapi yang berlubuk (kedhung), maka sebagai peringatan kepada anak cucu kelak, tempat dimana untuk latihan memanah dan berkemah dinamakan Kedungcandi (sekarang masuk wilayah desa Kecitran).

Setelah memberi nama sebagai tenger, R Wardoyo menuju ke arah cahaya kebiru-biruan itu bertengger dengan menaiki kuda kesayangannya. Ditambatkanlah kudanya dan R Wardoyo mulai tafakur dibawah pohon besar tersebut. Dikeheningan malam tiba-tiba cahaya tersebut melesat kearah barat daya dari tempat semula. Sebelum mengejar cahaya tersebut R Wardoyo memberi tempat itu dengan nama Pertapan (saat ini masih ada dengan pohon besar /pohon kepuh yang diperkiraan berumur ratusan tahun).

Selanjutnya R Wardoyo menuju kearah cahaya itu berada, ditempat tersebut R Wardoyo agak bingung dan ragu-ragu (bhs Jawa mangu-mangu).  Disinikah cahaya yang kukejar hinggap ? Pada saat yang bersamaan melesatlah cahaya tersebut kearah timur. Sebelum pergi kearah timur menyusul cahaya tersebut R Wardoyo memberi tenger tempat tersebut dengan nama Sirmangu.

Bergegaslah R Wardoyo menuju kearah hinggapnya cahaya tersebut. Ditempat tersebut terdapat pohon besar dan dibawahnya terdapat mata air (belik). Tanpa membuang waktu R Wardoyo membiarkan kudanya meminum air dari belik tersebut, sementara R Wardoyo membasuh kepala (bhs jawa sirah) yang agak pening dengan air belik tersebut. Setelah dibasuh maka hilanglah rasa pening dan merasa segar kembali. Pada saat yang bersamaan, melesatlah cahaya tersebut kearah selatan jauh meninggalkan R Wardoyo. Sebelum meninggalkan tempat tersebut Rwardoyo memberi nama tempat itu dengan sebutan sirah karena terakhir kali R Wardoyo membasuh kepala atau sirah. (tempat tersebut sekarang terkenal dgn sumur/belik sirah)

Dengan menunggang kuda kesayangannya R Wardoyo mengejar kearah selatan. Hampir dua pertiga malam R Wardoyo mengikuti kemanapun perginya benda bercahaya tersebut. Perjalanan R Wardoyo terhalang oleh parit yang bertebing, sehingga harus melompati parit itu. Namun lompatan kudanya kurang tepat sehingga kuda bersama penunggangnya terjerembab masuk kedalam parit menjadikan R Wardoyo tidak sadarkan diri dan sang kuda juga meringkik-ringkik kesakitan.

Sementara itu disebelah barat daya dari parit tempat Rwardoyo tidak sadarkan diri terdapat rumah seorang bernama Mad Dasin. Dipagi buta mendengar ringkikan kuda sehingga dengan keberaniannya menuju kearah datangnya suara, walaupun sebelumnya agak ragu karena ketakutan dikira suara kuda jadi-jadian atau memedi jaran.

Sesampai tempat yang dituju terkejutlah Mad Dasin melihat kenyataan dihadapannya. Seekor kuda yang kotor kena lumpur berusaha menggeliat untuk berdiri, disampingya tergeletak seorang pria tak sadarkan diri. Selanjutnya Mad Dasin membawa pria tersebut kerumahnya tak ketinggalan sang kuda juga mengikutinya. Sesampai dirumah Mad Dasin segera membuat ramuan untuk mengobati pria tersebut, langkah pertama untuk membuat pria tersebut agar sadar, Mad Dasin membaca mantra. Kemudian telinga pria tersebut ditiup (bhs jawa disembur atau disuwuk) tiga kali sehingga pria tersebut menjadi sadarkan diri, dan diminumkanlan ramuan yang telah dibuat oleh Mad Dasin sehingga pria itu benar-benar siuman dan sembuh. Setelah berceritera tentang keberadaannya dan mengucapkan terima kasih kepada Mad Dasin, maka pamitlah R wardoyo akan melanjutkan berjalanan. Saat sedang bercakap-cakap, dikejutkan oleh melesatnya cahaya biru dari rerimbunan pohon didekat rumah Mad Dasin. Sebelum meninggalkan tempat itu R Wardoyo memberi nama tempat itu Suwuk Mad Dasin karena R Wardoyo disembuhkan dengan cara disuwuk atau disembur oleh Mad Dasin.

Didalam perjalanan dari rumah Mad Dasin R Wardoyo menemukan sumber mata air yang airnya jernih. Kesempatan tersebut digunakan memendikan kuda/mengguyang kuda yang kotor kena lumpur   sewaktu terjerembab di parit bersama penunggangnya, disamping R Wardoyo juga reresik badan sendiri. Sebelum meninggalkan tempat tersebut sebagai tenger diberi nama guyangan, dan tempat itu  masih ada hingga saat ini dengan pancuran yang tidak pernah kering.

Bersamaan dengan terbitnya sang bagaskara diufuk timur dengan diliputi rasa kecewa dan putus asa R Wardoyo melanjutkan perjalanan kearah barat arah melesatnya cahaya biru tersebut. Dalam perjalanan kearah barat telinga Raden Wardoyo mendengar jeritan seorang wanita, sehingga Raden Wardoyo makin mempercepat lari kudanya dan suara jeritan semakin jelas. Sesampai pada tempat suara jeritan minta tolong, terlihat jelas seorang perempuan muda berambut panjang sedang dikejar-kejar oleh 3 orang pria bertubuh kekar dan menyeramkan. Melihat keadaan tersebut, spontan naluri darah ksatrianya mendidih.

Raden Wardoyo segera menolong gadis berambut panjang tersebut dan ketiga brandal dari Brangkilen segera kabur, dan  dalam perkelahian satu lawan tiga R Wardoyo unggul, hanya tangan kanannya luka kena sabetan pedang para brandal.

Pada akhirnya kedua anak muda tersebut saling berkenalan. Sebelum meninggalkan tempat tersebut, sebegai tanda tempat itu diberi nama Danayuda. Dana berarti memberi yuda berarti perang. Karena Raden Wrdodyo memberi pertolongan dengan cara perang atau bertempur dengan tiga brandal. Sebagai pemut juga setelah Raden Warwoyo memberi pertolongan kepada Sirkandi, namanya ditambah jadi R Dana Wardoyo.

Sebelum Sirkandi diantar pulang ke Karanggntung, Sirkandi mengobati tangan kanan Raden Dana Wardoyo dengan ramuan yang dibuat dari dedaunan. Sebagai pengingat kepada anak cucu kelak, tempat tersebut diberi nama curah, berasal dari kata mancur (mengalir) erah yang berarti darah, yaitu darah yang keluar dari tangan kanan Raden Dana Wardoyo.

Selesai mengobati R Dana Wardoyo,  Sirkandi diantar pulang ke Karanggintung. Ni Jebeng dan Ki Jebeng Astranala sangat kawatir karena tidak seperti biasa anak perempuannya tidak pulang-pulang dari mencuci. Rasa kawatir hilang dan timbul rasa ingin tahu karena Sirkandi pulang diantar oleh seorang pemuda yang gagah. Setelah dipersilahkan masuk dan duduk, Raden Dana Wardoyo menceritakan dari awal sedang latihan memanah di Kedungcandi, mengejar cahaya biru, berkelahi melawan brandal hingga menolong Sirkandi. Awal pertemuan itulah yang akhirnya menjadi sepasang kekasih antara Raden Dana Wardoyo dan Sirkandi.

Waktu terus berlalu, Raden Dana wardoyo setiap latihan memanah di Kedungcandi selalu menemui Sirkandi, dan tempat bertemu memilih ditempat yang indah yaitu didekat sendhang randu alas, diseberang selatan sungai Sapi. Disendhang tersebut banyak dihuni berbagai jenis ikan diantaranya ikan tambra.

Pada saat kesempatan bertemu, Raden Dana Wardoyo menyatakan cintanya kepada Sirkandi dan berniat untuk menyuntingnya sebagai istri. Mengenai hal tersebut Sirkandi mempunyai permintaan, apabila Raden Dana Wardoyo dapat mengalahkan kesaktian patrem miliknya, Sirkandi baru bersedia dipinang menjadi istrinya. Raden Wardoyo mempersilahkan Sirkandi untuk menusukan patremnya ketubuh mana yang dipilih. Diawali membaca mantra segera ditusukan patrem itu kedada R Wardoyo. Namun ternyata patrem tersebut tidak menggores sedikitpun kulit Raden Wardoyo.

Dengan rasa lega Raden Wardoyo mengantar Sirkandi pulang ke Karanggintung dari sendang randu alas. Sesampai di Karanggintung Raden Wardoyo menyampaikan niatnya, bahwa akan melamar putri Ki Jebeng Astranala kembang dari Karanggintung Sirkandi, setelah terlebih dahulu pulang ke Wirasaba berembug dengan orang tuanya.

Singkat ceritera pada saat yang sudah ditentukan akan ada utusan dari Wirasaba keluarga dari Raden Dana Wardoyo alias Mas Ukur untuk melamar Sirkandi di Karanggintung. Sebelum hari yang ditentukan tiba, Sirkandi mandi kramas disendang Randualas ditemani pengasuhnya dari Karanggintung. Tanpa disengaja rambut Sirkandi yang panjang, menyangkut benda yang ternyata ikan tambra yang cukup besar. Ikan tambra tersebut akhirnya dibawa pulang oleh emban/pengasuh Sirkandi yang dalam hati rerencanakan ikan tambra tersebut akan dimasak untuk tambahan lauk pada saat acara pinangan.

Pada saat yang sudah ditetapkan rombongan lamaran dari Wirasaba tiba di Karanggintung, disambut keluarga Ki Jebeng Astranala, tak ketinggalan para punggawa dari Karanggintung.

 Seusai acara inti lamaran diteruskan dengan memberikan suguhan yang telah disediakan. Pada saat akan menikmati santap malam pandangan Raden Wardoyo tertuju pada hidangan lauk ikan yang cukup besar, dan mengudang pertanyaan Raden Wardoyo.

Setelah dijelaskan oleh Sirkandi bahwa ikan tambra tersebut hasil tangkapannya yang tersangkut dirambut panjangnya, Raden Wardoyo tidak percaya perkataan Sirkandi, pada akhirnya timbulah cemburu yang berlebihan yang akhirnya pinangan dibatalkan serta merta Raden Wardoyo meninggalkan Karanggintung.

Karena memikul beban yang amat berat, Sirkandi gadis yang tadinya sangat ceria akhirnya menjadi gadis pemurung yang tidak pernah keluar kamar meikirkan dan merenungi akan nasib yang menimpa dirinya.

Dengan perasaan sedih dan kecewa Sirkandi akhirnya pamit kepada Ki Jebeng dan Ni Jebeng Astranala untuk mesu budi atau bertapa. Dengan berat hati diijinkanlah permata hatinya untuk mesu budi dengan dibekali pakaian seperlunya yang ditempatkan dalam tumbu,  payung dan patrem.

Sebelum pergi meninggalkan Karanggintung, Sirkandi berpesan kepada para perempuan dan keturunannya kelak di Karanggintung jangan sampai memelihara rambut panjang agar tidak menemui nasib sama seperti dirinya.

Setelah berjalan tak tentu arah Sirkandi berhenti untuk beristirahat tumbu ditaruh diatas tanah, setelah mau melanjutkan perjalanan tumbu telah berubah jadi batu sehingga diberi nama watu tumbu (masih ada sampai sekarang) . Perjalanan dilanjutkan kearah timu,r ditempat yang agak datar Sirkandi mualai bertafakur. Namun masih dalam kebimbangan maka ditinggalkan tempat tersebut, dan diberi nama Lewok. Perjalanan dilanjutkan kearah utara setelah sampai didekat sendhang Randualas yang biasa digunakan untuk cengkrama, berhentilah Sirkandi.

Selanjutnya Sirkandi duduk bersimpuh, tangan diletakkan didada, bersedekap sambil memejamkan mata berdoa agar diampuni segala dosanya serta memohon agar masyarakat Karanggintung diberikan ketenteraman, kedaamaian dan kesejahteraan.

Payung yang dibawa oleh Sirkandi, sebelum semedi ditancapkan ditanah dan berubah menjadi rumpun bambu dan diberi nama pring tembeleng atau pring ampel, sedangkan patrem yang ditaruh disampingnya berubah menjadi dua ekor lebah atau tawon yang dibagian perut melingka rwarna kuning dan diberi nama tawon suk.

Pada akhirnya Sirkandi moksa menghilang badan wadagnya. Sempurna sudah lakon yang diperankan oleh  gadis cantik berambut panjang yang bernama SIRKANDI.

Sebagai penghargaan atas jasa-jasa Sirkandi maka Desa Karanggintung diganti jadi desa SIRKANDI.

Seiring berjalannya waktu bahwa entah tahun berapa, dimungkinkan pada zaman Belanda Desa Sirkandi dibagi menjadi 2 wilayah yaitu Dusun Kreyek dan Beji bernama DESA BEJI, dan Dusun Balong dan Salaraga bernama DESA SIRKANDI. Karena penjajah Belanda cukup lama menjajah Nusantara yaitu selama 350 tahun atau 3,5 abad, maka pada tahun 1924 kedua desa tersebut, Beji dan Sirkandi digabung jadi satu lagi bernama Desa Sirkandi. Hal itu terjadi pada masa jabatan R.KARTAREDJA sebagai Kepala Desa Beji dan TIRTAWIARTA sebagai Kepala Desa Sirkandi.

Sampai saat ini Desa Sirkandi telah dipimpin oleh Kepala Desa sbb.:

NO NAMA TAHUN MENJABAT
1. R. KARTAREDJA 1924 – 1927
2. R. SINDOE MIHARDJO 1927 – 1942
3. TIRTAWIREDJA 1942 – 1967
4. DJUNEDI 1967 -1969  CARTEKER
5. KIRSUN SP 1969 – 1990 PERIODE I 1990 – 1998 PERIODE II
6. GIRI SARONO, S.Sos. 1998 – 2006 PERIODE I 2007 – 2013 PERIODE II
7. PARDIMAN 2013 – 2019
8. GIRI SARONO, S.Sos. 2019 – SEKARANG
TAHUN PERISTIWA BAIK PERISTIWA BURUK
1924 Desa Beji dan Desa Sirkandi digabung menjadi satu bernama desa Sirkandi,  
1927-1942   Pemerintahan Desa jaman Belanda dan jaman Jepang.
1942-1967 Tanggal 17 Agustus 1945 Bangsa dan Negara Indonesia Menyatakan Kemerdekaan. Pemerintahan Desa mengalami   Jaman Kemerdekaan. Pemerintahan Desa Jaman Jepang, Jaman Kemerdekaan, Jaman Agresi Belanda II (NICA).
1964-1965   Terjadi Pemberontakan PKI
1967-1969 Pemerintahan Desa dengan Caratekar. (Bp Djunedi )  
1969 Pemilihan Kepala Desa secara demoktatis, terpilih sebagai Kades Kirsun.SP.  
1970       Sering terjadi wabah penyakit, diantaranya muntaberdan wabah penyakit lainnya.
1969-1973 Pusat pemerintahan masih dirumah Kepala Desa.  
1972 Pekerjaan padat karya dibayar dengan bulgur.  
1973 Membangun balai desa di komplek perempatan Kreyek dengan dana bandes dan swadaya masyarakat.  
1974 Awal tahun 1974 menempati Balai Desa Baru informasi dari kades pada saat itu merupakan balai desa kedua diwilayah Kecamatan Purwareja Klampok setelah balai Desa Kalilandak.  
1977 Mulai membuka jalan ke dusun 5 Salaraga  
1990 Pemilihan Kepala Desa secara demoktatis, yang berhenti karena Perda yang terpilih sebagai Kades Kirsun. SP. untuk periode yang ke II dengan masa jabatan selama 8 tahun.  
1998 Pemilihan Kepada Desa secara demokratis yang terpilih Giri Sarono dengan masa jabatan 8 tahun.  
2000 Merehab balai desa dengan mengganti rangka atas dan lantai keramik.  
2005 Mulai membangun jembatan gantung menghubungkan pusat pemerintahan (balai desa) yang berlokasi didusun Kreyek dengan 4 dusun  diselatan  sungai dan dengan Desa Salamerta Kecamatan Mandiraja.  
2006 29 April 2006 Peresmian Jembatan gantung Gerbang Kerta Bangsa (Gerakan Pembangunan Kreyek Salamerta Beji Balong Salaraga) oleh Bupati Banjarnegara Drs. Ir. H. Djasri, MT,MM.  
2007 Pemilihan Kepada Desa secara demokratis yang terpilih Giri Sarono,, S.Sos dengan masa jabatan 6 tahun untuk periode II  
2013 Pemilihan Kepada Desa secara demokratis yang terpilih Pardiman dengan masa jabatan 6 tahun.  
2019 Pemilihan Kepada Desa secara demokratis yang terpilih Giri Sarono.S.Sos. dengan masa jabatan 6 tahun untuk periode III  
2019 Pembangunan Jembatan permanen untuk menggantikan jembatan gantung Gerbangkertabangsa. Mulai dibangun pada bulan Juli selesai bulan Oktober 2019, dibuka untuk umum hari Senin, tanggal 28 Oktober 2019  oleh Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono.  

Sumber : RPJM Desa Sirkandi Tahun 2020 – 2025